Iklan

iklan

Iklan

,

Iklan

iklan

Hak-hak dan Hierarki Sosial Masyarakat Wajo

Uceng
Selasa, 16 Agustus 2022, 8/16/2022 WIB Last Updated 2022-08-16T10:59:50Z

Logo Kabupaten Wajo


Sulselexpose.id.Wajo--Sejarawan Anthony Reid berpendapat bahwa Wajo memiliki bukti paling kuat untuk pelembagaan hak-hak kebebasan bila dibandingkan dengan masyarakat pra-modern Asia manapun. Naskah-naskah Wajo selalu menekankan bahwa "orang-orang Wajo itu merdeka", dan bahwa tuan mereka hanyalah hukum adat yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Konsep "hak-hak kemerdekaan Wajo" mencakup, antara lain: jaminan keselamatan pribadi dan kepemilikan, akses terhadap keadilan, serta kebebasan untuk berpendapatbergerak, dan membuat kontrak Dalam sumber-sumber Wajo disebutkan bahwa hak-hak kemerdekaan ini adalah adat turun-temurun yang sudah demikian adanya,sehingga seorang arung matoa sekalipun tidak boleh menentangnya. Ketika seorang arung matoa dilantik, ia juga mesti bersumpah untuk menjaga hak-hak ini. Walaupun begitu, hak-hak "kemerdekaan" ini memiliki batasan dan tidak berlaku sepenuhnya bagi seluruh masyarakat Wajo. Kalangan budak tidak memiliki hak yang sama dengan kalangan orang merdeka, apalagi kalangan ningrat.

Secara garis besar, masyarakat Bugis dahulu terbagi ke dalam tiga golongan: 1) bangsawan atau ningrat, 2) orang merdeka, dan 3) budak. Golongan-golongan ini bukanlah kasta turun-temurun dengan batas-batas yang jelas, karena pernikahan tidak dibatasi sesama golongan (endogami) saja. Seseorang dapat diperbudak sebagai hukuman akibat kejahatan atau karena tidak mampu membayar utang. Perbudakan dapat bersifat turun-temurun; anak dari sepasang budak akan dianggap budak pula. Seorang budak yang dibebaskan akan menjadi orang merdeka, dan siapapun yang memiliki ayah orang merdeka juga akan dianggap sebagai orang merdeka.

Golongan ningrat secara teori mencakup siapapun yang memiliki "darah putih". Hanya saja, karena pernikahan dapat terjadi lintas golongan, dan nasab diturunkan secara bilateral (dari kedua orang tua), masyarakat Bugis mengembangkan penggolongan sosial yang kompleks, berdasarkan seberapa murni "darah putih" yang dimiliki oleh seseorang. Tingkat tertinggi disebut sebagai anaʼmatola ('putra-putri mahkota'), yang mencakup orang-orang dengan kemurnian darah tertinggi, termasuk di antaranya para arung matoa dan anggota Petta Ennengngé. Di bawah mereka, ada golongan anakarung ('anak penguasa'), yang mencakup bangsawan-bangsawan rendah, termasuk di antaranya para arung atau penguasa negeri-negeri bawahan Wajo. Kedua golongan ini dianggap sebagai bagian dari kalangan ningrat. Tingkat berikutnya disebut tau décéng ('orang baik-baik'), yaitu golongan rakyat biasa yang masih memiliki sedikit darah bangsawan, setingkat di atas kalangan tau maradéka ('orang merdeka') atau tau sama ('orang setara'). Golongan ata atau budak, baik yang turun-temurun maupun akibat dihukum, berada di posisi paling bawah

 

 

Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia

 

Iklan

iklan