Iklan

iklan

Iklan

,

Iklan

iklan

Lalliseng di Wajo Berpeluang Menjadi Desa Binaan Departemen Sastra Prancis Unhas

Sabtu, 29 Juli 2023, 7/29/2023 WIB Last Updated 2023-07-30T02:32:11Z


Foto: Ketua Departemen Sastra Prancis Unhas Dr. Prasuri Kuswarini, M.A. menyerahkan 
cinderamata kepada Kepala Desa Lalliseng Ahmad Hasriadi Kasnur,.S.IP.


Abdul Wahab Dai

Pendamping Masyarakat


DESA Lalliseng berpeluang menjadi Desa Binaan Departemen Sastra Prancis Universitas Hasanuddin Makassar.

Kisah si anak durhaka Malin Kundang yang terkutuk menjadi batu di Sumatera memang belum dapat disandingkan dengan kisah penjual garam yang terkutuk menjadi batu di Batu Cokkong, Desa Lalliseng, akan tetapi kita dapat saja bermimpi menjadikan Lalliseng ramai dikunjungi orang luar daerah bahkan orang asing....dan Lalliseng pun mendunia.

Pengembangan storynomic tourism atau wisata literasi adalah sebuah jalan.

Kita bermimpi suatu ketika Desa Lalliseng ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara untuk melihat situs Batu Cokkong sebagaimana ramainya situs Batu Malin Kundang di bibir pulau Andalas.

Demikian intisari perbincangan penulis dengan para akademisi Departemen Sastra Prancis Unhas di Hotel Sallo, Sengkang akhir pekan ini saat mana kami menyarap bersama di restoran hotel. Ini bukan utopia!

Mereka baru saja melakukan pengenalan Potensi Wisata Daerah Melalui Cerita Rakyat di Balai Desa Lalliseng (Kamis, 27 Juli 2023) yang dihadiri oleh beberapa kepala desa, sekretaris desa, perangkat desa, pemuda desa, BPD, pengurus bumdes, dan tokoh masyarakat serta beberapa pendidik.

Dr. Prasuri Kuswarini, M.A. dari Departemen Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin kembali menyebut Pantai Air Manis yang terletak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Padang, Sumatera Barat.

Situs dream.co.id menyebut bahwa selain panorama yang indah, pantai ini memiliki daya tarik lain yang kerap membuat para turis penasaran. Di Pantai Air Manis terdapat batu-batu yang menyerupai Malin Kundang dan beberapa perlengkapan kapalnya. 

Cerita Malin Kundang sangat kesohor hingga ke Eropa musabab sikapnya yang menyangkal dan tak mengakui ibundanya sehingga dikutuk menjadi batu. Demikian cerita yang kerap kita dengar.

***

Kedatangan para akademisi ini untuk kedua kalinya di Desa Lalliseng adalah bagian dari Tri Darma Perguruan Tinggi yakni Pengabdian Kepada Masyarakat.

Sebuah buku telah terbit dengan judul Berwisata Bersama Cerita: Menapaki Sekelumit Sulawesi Selatan oleh Dr. Prasuri Kuswarini, M.A., seorang alumnus Jerman (Ketua Departemen Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin Makassar) d.k.k. Buku ini mengumpulkan cerita-cerita rakyat Sulawesi Selatan dari para enemurator.

Saya diajak terlibat dalam buku ini sebagai enemurator cerita-cerita rakyat dari kawasan Kecamatan Keera serta Desa Lalliseng di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Selain cerita-cerita rakyat berbahasa Bugis, buku ini memuat pula cerita-cerita berbahasa Makassar dan bahasa Toraja.

Buku ini diterbitkan oleh Jariah Publishing Intermedia (anggota IKAPI) dengan cetakan pertama Desember 2022.

Salah satu cerita dari Desa Lalliseng yang dimuat adalah tentang situs Batu Cokkong di Dusun Batu Cokkong, Desa Lalliseng, Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Mengapa disebut Batu Cokkong? 

Syahdan, tersebutlah seorang penjual garam yang terkutuk menjadi batu gegara selalu saja mengeluh tiada yang dapat dia santap, padahal dia punya garam, jualannya.

Istrinya yang terkejut berlari menjauh dan berubah menjadi batu pula. Kedua batu ini dalam waktu yang lama selalu dilempari kerikil dan bebatuan yang lebih kecil oleh siapapun yang melintas di sekitarnya. Namun tradisi melempar batu ini sudah mulai berkurang.

Ini adalah sebuah cerita rakyat kampung Batu Cokkong yang sekarang menjadi Dusun Batu Cokkong.

Secara harafiah "batu" sepadan dengan kata Indonesia "batu" dan "cokkong" bermakna "muncul, timbul".

Menurut kesaksian seorang warga, batu yang muncul ini berbentuk layaknya manusia, punya kepala, mata dan hidung. 

Bekas-bekas kampung lama di Sulawesi Selatan yang kini disebut Desa memiliki beragam cerita yang bahkan ada yang belum pernah didokumentasikan, baik dengan bahan-bahan tercetak maupun dalam bentuk digital.

Sesuai janjinya, bersama Masdiana, S.S., M.Hum., Dr. Fierenziana Getruida Junus, M.Hum (Kepala UPT Perpustakaan Unhas), dan Prof. Dr. Muhammad Hasyim, M.Si. merampungkan buku ini dan bahkan sudah tayang di toko-toko buku daring.

Dr. Ade Yolanda Latjuba, M.A. dari Departemen Sastra Prancis Unhas tampil berbicara tentang Manajemen Pariwisata Berbasis Komunitas.

"Penting bagi masyarakat untuk menyadari keberadaan destinasi wisata di wilayahnya, agar keberlangsungan industri wisata tetap terjaga," kata dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang juga mengajarkan bahasa Belanda ini.

Jika sebuah desa menjadi tujuan wisata misalnya dengan wisata yang mengedepankan narasi, konten kreatif, dan kekuatan budaya, banyak warga desa yang bisa terlibat dan dapat menciptakan lapangan kerja.

Misalnya, kata Latjuba, pedagang, tukang parkir, pengelola, penginapan, karyawan, tukang karcis, dan turis lokal.

Latjuba juga menyebut profesi jasa pemotretan, pemandu wisata seperti juru bahasa, bahkan penjualan produk budaya lokal dan penyewaan alat rekreasi.

Meningkatnya kunjungan wisatawan domestik dan asing memicu meningkatnya akses jalan, taman, tempat atraksi budaya, tempat kuliner, dan cinderamata. "Ini semua menguntungkan penduduk desa setempat," katanya memotivasi.

Kuswarini sebelumnya memulai dengan strategi dan kebijakan pariwisata yang dikeluarkan pada tahun 2021 bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat dan pelaku pariwisata dengan mewujudkan tiga aspek kepariwisataan yaitu: atraksi, aksesibilitas, dan amenitas atau fasilitas yang layak untuk wisatawan.

Diskusi dipandu oleh Abdul Wahab Dai, S.S. Pendamping Lokal Desa Kecamatan Keera. Diskusi menjadi seru manakala salah seorang peserta bernama Dedi Hayadi, S.Pd menanyakan arah penelitian para akademisi ini di Lalliseng. "Apakah Bapak Ibu juga membawa dana bantuan dari Prancis untuk pengembangan wisata literasi di desa kami," tanyanya.

Antusiasme peserta terlihat dari ramainya acara dan banyaknya peserta. Kuswarini menjawab bahwa kedatangan mereka dalam dua tahun terakhir baru pada tahap membawa gagasan. "Penelitian dan pengabdian kami ini bersifat tahun jamak. Mungkin tahun depan kami datang lagi ke Lalliseng sebagai bagian dari pengabdian perguruan tinggi kepada masyarakat," terang Kuswarini.

Memang, menjadikan sebuah desa sebagai desa wisata dengan DNA cerita rakyat dan kekuatan budaya diakui berat. Tapi ini baru tahap awal.

Hadir pula pada diskusi ini Drs. Hasbullah, M. Hum, dari Perhimpunan Pengajar Prancis Seluruh Indonesia (PPPSI) Cabang Makassar, dan beberapa dosen Departemen Sastra Prancis seperti Masdiana, S.S., M.Hum., Dr. Wahyuddin, S.S., M.Hum. Irma Nurul Husnal Chotimah, B.Sc., M.Pd. dan bebepara mahasiswa Sastra Prancis Unhas. Hadir juga salah seorang praktisi mengajar mahasiswa pascasarjana yang bernama Gwenn dari Prancis.

*Penulis adalah Wakil Sekretaris I IKA Unhas Daerah Kabupaten Wajo, alumnus Satra Prancis Unhas.

Iklan

iklan