1

Iklan

iklan

Iklan

,

Iklan

iklan

Resensi Buku "Rasionalisasi Kemustahilan" Karya Abd. Jalaluddin H, S.Ag.

Jumat, 26 Januari 2024, 1/26/2024 WIB Last Updated 2024-01-26T14:30:49Z


DIARI USTADZ NEKAT, CINTA DITOLAK SEDEKAH BERTINDAK 


Abdul Wahab Dai

Peresensi


Judul: Rasionalisasi Kemustahilan, Merubah Paradigma Lama, Catatan Harianku

Penulis: Abd. Jalaluddin H, S.Ag.

Penerbit: CV. Abdi Fama, Bogor, Jawa Barat

Tata Letak: Fitri Siska Supriatna

Desain Sampul: Muhammad Abror

Cetakan I: September 2023

Jumlah Halaman: iv dan 64


SESUAI dengan judulnya, buku kecil ini hanyalah catatan harian seorang pemburu ilmu agama dari Sulselbar. Latar diari yang berjumlah 27 tulisan singkat ini adalah Belawae, Tobarakka, Maccolliloloe, Paojepe, Parepare (Sulsel), Pasimbuang (Sulbar), dan Jakarta.


Buku ini layak dibaca para santri pondok pesantren di Sulselbar (Sulawesi Selatan dan Barat), tanah para anregurutta' (gelar sosial bagi ulama Sulawesi Selatan dan Barat).


Jalal (sapaan akrab Abd. Jalaluddin), seorang Bugis Mandar, penulis buku ini mengisahkan dengan detil perjuangannya menuntut ilmu agama dari SDN 1 Belawae, dan MTs Belawae (Sidrap) yang dilanjutkan ke Ponpes Al-Mubarak DDI Tobarakka tingkat MA (Wajo). Memang, banyak perantau Mandar yang memilih Kabupaten Sidrap dan Wajo sebagai daerah tujuan untuk berkebun dan berladang.


Tak selesai di Tobarakka, Jalal pindah sekolah ke Ponpes Nuhiyah Pambusuang (Sulbar). Sejak lama Jalal bercita-cita menjadi seorang kiyai, sehingga sekolah agama digelutinya hingga sekolah tinggi di Jakarta.


Mimpinya ke STFI Sadra Jakarta terkabulkan setelah melewati banyak rintangan berupa uang sekolah yang sering tak cukup hingga mendapatkan beasiswa saat berkuliah di Jakarta.


Melalui buku ini Jalal mencoba memotivasi pembaca (baca: santri) bagaimana dia yang berasal dari pedalaman Sulawesi dapat menginjak Jakarta (bahkan cita-citanya menuntut ilmu hingga ke Mesir) dengan segala keterbatasan.


Buku ini berisi banyak kisah dramatis yang dialami oleh Jalal dalam berjalanan hidupnya melata di tanah Sulawesi dan dan Jawa hingga kembali mengabdi di Sulawesi Selatan sebagai guru dan dosen.


Mulai dari kepergiannya yang tak direstui oleh ayahnya hingga Jalal pulang mencium kaki ayahnya sebab merasa berdosa.


Walau terkesan sebuah glorifikasi diri, buku ini membawa pembaca larut dalam sebuah drama yang melanda hidup Jalal. Termasuk ketika harus bercerai dengan istri pertamanya akibat tak memiliki keturunan dan penolakan oleh calon istri yang memasang uang panaik sangat tinggi hingga batal menikah, walau akhirnya Jalal dapat mempersunting wanita lain dengan kisah yang unik pula.


Sebuah judul menarik terpampang pada halaman 51 "Cinta Ditolak Sedekah Bertindak", memaparkan bagaimana kekuatan sedekah dapat mengubah jalan hidup Jalal.


Sulawesi Selatan yang dikenal dengan uang panaik yang tinggi sempat disinggung oleh Jalal pada sebuah tulisan. Panaik tinggi adalah sebuah fenomena sosial yang juga harus dihadapi oleh pemuda Mandar ini. Namun dua kali menikah, Jalal dapat melewatinya dengan dramatis.



Kisah heroik berlaku ketika Jalal menyarankan seorang kawannya untuk mengambil aksi kawin lari (silariang) saat kawannya dihadapi persoalan uang panaik yang tinggi, sebuah perlawanan sosial dan memalukan bagi masyarakat Sulawesi Selatan.


Namun buku ini perlu dikritisi dalam urusan bahasa yaitu soal ejaan. Ditemukan kesalahan di sana-sini soal ejaan yang salah dan penggunaan kata tak baku yang sering.


Salah ketik (saltik) ada di mana-mana dengan banyaknya kata yang dibumbui huruf h yang tak perlu (seperti 'kelolah' dan 'menerimah') atau kata-kata yang kekurangan huruf seperti 'dara' yang seharusnya ditulis 'darah'.


Langgam yang digunakan penulis mengalami interferensi dialek lokal, misalnya frasa 'ketemu sama...' di mana seharusnya 'bertemu dengan'.


Namun upaya Jalal merangkai aksara dalam sebuah buku ini dan bahkan dapat terbit adalah sebuah upaya luar biasa.


Sebagai saran, untuk cetakan berikutnya sebaiknya ujaran langsung dan ujaran tak langsung dapat disunting merujuk pada tata bahasa Indonesia terkini agar jelas demarkasi keduanya.


Penggunaan huruf kapital yang kacau perlu diperhatikan pada cetakan berikutnya, termasuk transliterasi ayat-ayat Al-Quran yang harus mengikuti standardisasi. Penyebutan nama penulis yang dikutip juga harus tertib sesuai aturan kebahasaan yang berlaku.


Penulisan nama geografis juga perlu ditulis dengan benar dan lengkap, sebagaimana nama tokoh harus dilengkapi dengan penjelasan yang lengkap. 


Kini Jalal menjadi guru di Ponpes Hurriyyatunnas Paojepe dan hidup bahagia dengan istri dan anak-anaknya.


Demikian timbangan atau resensi buku ini saya tulis. Semoga Adinda Jalal semakin sering menulis dengan karir yang moncer.


Siwa, 26 Januari 2024





Iklan

iklan